Sabtu, 19 Januari 2008

Pro Kontra Becak Motor


Oleh : Agus Purwanto


Seperti diduga banyak kalangan, keberadaan Becak Bermotor (Betor, ada juga yang menyebut Caktor) laiknya bom waktu yang berpotensi menimbulkan masalah. Demonstrasi pengemudi Betor di DPRD Kabupaten Kebumen seperti menegaskan mulai munculnya masalah ini. Seperti diberitakan harian Suara Merdeka (Selasa, 8 Januari 2008), sekitar empat ratusan abang becak bermesin yang tergabung dalam Persatuan Becak dengan Bantuan Tenaga Mesin (Percakbantem) berunjuk rasa di DPRD Kebumen meminta payung hukum.

Selain itu Percakbantem meminta DPRD untuk memfasilitasi dan mencarikan jalan keluar supaya eksistensi meraka diterima berbagai pihak yang berkepentingan.

Secara yuridis, sebagaimana spanduk-spanduk yang dipasang Polres kebumen, keberadaan becak yang dipasangi mesin bermotor memang menyalahi ketentuan perundangan, yaitu UU Lalu Lintas No. 14 Tahun 1992. Hal ini ditegaskan Iptu S Supriyanto dari Bina Mitra Polres kebumen (Suara Merdeka, 8 Januari 2008). Disisi lain keberadaan betor ini juga mendapat keberatan dari Personek. Organisasi sopir dan kenek ini memandang bahwa selain illegal, juga merugikan mereka. (Lihat Surat Pembaca). Namun pendapat lain dikemukakan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Kebumen, Slamet Budiono. Sebagaimana diberitakan harian Suara Merdeka (08/01/08), menurut Slamet keberadaan becak bermesin itu merupakan aset pemkab, ibarat bayi yang telah lahir juga tak mungkin dibunuh, meski secara teknis keberadaan itu (betor - Red) belum memiliki payung hukum. Selanjutnya Slamet berharap agar semua pihak menyikapi keberadaan betor secara bijak.


Mesin Tepung

Menurut Wikipedia, Becak berasal dari bahasa Hokkien : be chia yang berarti kereta kuda, adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi.Munculnya Betor merupakan kreatifitas dan inovasi masyarakat, khususnya pengemudi becak, untuk mengatasi berbagai keterbatasan becak sebagai alat transportasi. Seperti kita ketahui, becak memilik berbagai keterbatasan, khususnya karena becak menggunakan ‘mesin otot’ manusia, sehingga daya jelajahnya relatif terbatas dibandingkan kendaraan bermotor. Kelemahan lain becak adalah waktu tempuhnya yang lebih lama. Dan untuk mengatasi berbagai kelemahan inilah kemudian muncul inovasi dengan ‘menempelkan mesin’ pada becak. Jadilah berbagai jenis becak bermesin, sehingga becak tak lagi menggunakan ‘mesin otot’ ber BBM nasi, namun menggunakan mesin sungguhan ber BBM bensin.
Berbagai jenis ‘mesin tempel’ digunakan untuk menggerakkan betor, mulai mesin sepeda motor (umumnya sepeda motor lawas), mesin pemotong rumput, mesin parut kelapa, hingga mesin tepung. Dengan mesin ini betor mampu menjelajah bukan saja puluhan kilometer bahkan ratusan kilometer, laiknya kendaraan motor lainnya.

Di pulau Sumatera, seperti Aceh dan siantar, betor sudah lama ada - dan relatif tidak bermasalah. Ada baiknya kita belajar bagaimana mengelola betor dari saudara kita di Aceh dan Siantar.


Jumat, 11 Januari 2008

Alternatif Solusi HARGA BBM


Oleh : Ir. H. Ngadino



Harga minyak dunia yang pernah mendekat ke angka 100 USD perbarrel dan masih tetap bertengger jauh di atas angka pedoman dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2007/2008 yakni sebesar 60 USD perbarrel, maka walaupun beberapa kali Wakil Presiden M Yusuf Kalla mengatakan tidak akan ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai dengan tahun 2009, dan juga Menteri Keuangan Sri Mulyani pada akhir Oktober 2007 mengatakan APBN kita masih aman, kemudian disusul dengan mengeluarkan sembilan kebijakkan untuk mengatasinya agar tidak berdampak pada APBN, namun kegelisahan pemerintah tidak dapat lagi dapat disembunyikan.

Hal ini bisa dilihat dari rencana program PT Pertamina yang akan mengalihkan penggunaan BBM jenis premium oktan 88 yang bersubsidi, untuk mobil pribadi, ke BBM premium oktan 90 yang akan disubsidi sekitar lima ratus rupiah perliter atau ke pertamax yang tidak disubsidi. Rencana yang akan dimulai pada tahun 2008 itu, diawali dari kota-kota di kawasan Jabotabek, kemudian Jawa Barat, Batam dan Bali, dan tentu saja akan disusul daerah-daerah lainnya secara bertahap. Masyarakat juga akan bibuat gelisah, terutama pemilik mobil pribadi yang biasa menggunakan premium oktan 88 tersebut, karena tentu saja harus bersiap-siap menambah anggaran harian/bulanan untuk biaya transportasinya. Sementara pihak pengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) juga tak kalah cemas, membayangkan senantiasa akan terjadi ketegangan antara karyawannya dengan para konsumen dari mobil pribadi. Dari para pengamat dan pakar yang dikawatirkan adalah kerawanan terjadinya berbagai penyimpangan.
Dan kita sangat memahami kecemasan-kecemasan tersebut, baik itu pemerintah maupun masyarakat yang akan terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung dari kebijakkan tersebut.

Sesungguhnya ada salah satu alternative yang saya rasa sangat mungkin, bahkan bisa jadi wajib untuk dilaksanakan, yaitu tetapkan saja harga semua jenis BBM, termasuk minyak tanah, sesuai dengan harga pasar. Dan agar masyarakat kecil tetap bisa terbantu, maka khusus untuk angkutan penumpang umum perkotaan maupun pedesaan kelas ekonomi diberi subsidi yang memadai untuk pembelian BBMnya berupa bantuan tunai kepada para operator, sehingga tariff untuk kelas ekonomi perkotaan dan pedesaan tidak perlu dinaikan. Sedangkan angkutan umum jenis lainnya, seperti Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) maupun Angkutan Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) tidak disubsidi. Kemudian agar adil dan kendaraannya terasa nyaman, maka subsidi diberikan dengan batasan misalnya umur kendaraan sampai dengan 7 tahun, sehingga agar dapat terus mendapat subsidi, kendaraan harus diremajakan setelah batasan penggunaan 7 tahun. Dan untuk masa persiapan, maka semua kendaraan umum perkotaan dan pedesaan kelas sekonomi yang masih beroperasi diberi subsidi BBM, hingga 2 tahun dari saat dimulainya kebijakkan tersebut. Menurut hemat saya, data kendaraan dari jenis tersebut cukup akurat ada di Dinas Perhubungan (Dishub)/ Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kabupaten/Kota.
Kenapa minyak tanah juga harus sesuai dengan harga pasar ? atau minimal sama dengan harga solar, karena selama ini penyimpangan minyak tanah bersubsidi diantaranya digunakan untuk mencampur solar, yaitu yang lebih dikenal dengan'IREX'. Dan hal ini sesungguhnya juga merugikan perusahaan angkutan, karena mesin menjadi cepat rusak. Dengan harga BBM sesuai dengan harga pasar, maka penyimpangan berupa penyelundupan BBM tidak mungkin lagi dilakukan, walaupun yang pernah terjadi dan kita lihat di media masa, bukan hanya penyelundupan, tetapi pencurian yang jumlahnya cukup besar.

Untuk Angkutan AKDP maupun AKAP kelas ekonomi, juga agar terjadi kompetisi secara adil, maka jika Kereta Api kelas ekonomi masih disubsidi pemerintah , hal yang sama juga dilakukan terhadap kedua angkutan di atas, dengan batasan umur kendaraan yang mendapat subsidi. Kemudian diadakan juga regulasi terhadap Angkutan Udara, sebagai competitor Angkutan AKAP, dengan menetapkan tariff batas bawah, sehingga Angkutan AKAP kelas bisnis / eksekutif juga bisa berkompetisi dengan fair dengan Angkutan Udara.

Hasil dari pengurangan subsidi BBM tersebut, dialokasikan untuk menggratiskan semua anak usia sekolah, sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, akan lebih baik jika sampai dengan tingkat SLTA, dan biaya berobat gratis bagi keluarga miskin bisa diperluas ke keluarga pra sejahtera. Tentang minyak tanah, yang penggunanya kebanyakan dari kelas menengah bawah, maka menurut saya asalkan biaya sekolah dan berobat jika sakit, gratis sama sekali, artinya untuk sekolah sudah tidak ada pungutan apapun bentuknya, maka minyak tanah akan terbeli, atau alternative lainya besaran BLT dinaikkan. Dan hal ini juga sejalan dengan program pengalihan dari minyak tanah ke gas oleh PT Pertamina.
Jadi sediakan semua jenis BBM dengan harga pasar, dan agar tidak terlalu sering berubah, maka harga bisa ditetapkan untuk jangka waktu empat atau enam bulan, baru disesuaikan lagi, ada pertamax, premium oktan 88, premium oktan 90 dan lainya, biarkan masyarakat memilihnya.

Menggagas Angkutan Umum KEDUNGSAPUR

Oleh : Rahmad Da'wah

TIDAK dapat dipungkiri, angkutan umum di daerah Kendal kini berada pada kondisi hidup segan mati tak mau. Itu terjadi sejak kenaikan harga BBM yang baru lalu.Sebabnya tak lain karena ada penurunan minat pengguna jasa angkutan.
Penumpang yang sebelumnya menggunakan jasa angkutan umum banyak yang beralih ke sepeda motor. Sebagaimana bisa dilihat di jalan-jalan, kendaraan roda dua memang kini menjamur.
Data yang diperoleh penulis menunjukkan, di daerah ini tak kurang 600 unit motor terjual setiap bulan.Hal itu berakibat pada kemerosotan income para penjual jasa (baca: operator/pengusaha, dan awak) angkutan umum. Perolehan pendapatan mereka tak sebanding dengan biaya operasional. sehingga akhirnya banyak alat angkutan umum terpaksa diistirahatkan.
Di sisi lain, euforia otonomi daerah kini menyebar bak virus. Pada tataran implementasi, tiap kabupaten/kota lebih mengedepankan ego kewenangannya masing-masing, tanpa peduli pada kondisi objektif di lapangan.Pembangunan terminal Mangkang oleh Pemkot Semarang adalah salah satu contoh aktual. Jika regulasi Pemkot Semarang nantinya menetapkan terminal tersebut sebagai titik akhir bus antarkota dalam provinsi (AKDP) trayek Sukorejo (kendal)-Terboyo dan Limpung (Batang)-Terboyo, bisa dibayangkan armada (142 unit bus) tersebut akan mengalami degradasi.Sebab selama ini yang cukup menolong perolehan pendapatan armada tersebut justru di ruas antara Terboyo-Jrakah, dengan banyaknya penumpang ke arah Kaliwungu, Kendal, Weleri, Sukorejo, dan Limpung. Jadi bisa dibayangkan akibatnya jika bus-bus AKDP tersebut tak boleh masuk kota dan berhenti di terminal Mangkang. Mereka harus bersaing dengan ratusan unit angkutan pedesaan yang selama ini sudah melayani trayek Mangkang-Kendal-Weleri.Persaingan yang tak sehat antarpengusaha atau operator angkutan umum juga bisa menjadi contoh lainnya. Demo Paguyuban Setia Kawan di Dinas Perhubungan Kendal beberapa waktu lalu, yang menolak masuknya R-6 (salah satu trayek angkot Semarang) ke wilayah Kendal, adalah bukti betapa persaingan antarmereka sudah sangat memprihatinkan dan mengarah ke sentimen kedaerahan.Rusaknya infrastruktur jalan di daerah ini makin memperburuk keadaan.
Meski Pemkab Kendal tiap tahun menganggarkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk perbaikan jalan-jalan, namun realitanya banyak jalan masih dalam kondisi jauh dari harapan para pengguna.Adanya berbagai dugaan punguan liar (pungli) yang masih merebak di mana-mana, juga cukup mengganggu. Baik yang dilakukan oleh aparat maupun preman di jalan-jalan, maupun oleh pegawai instansi pelayanan di kantor-kantor. Jika saja, misalnya, setiap unit angkutan harus mengeluarkan pungli Rp 1.000 saja, maka dari jumlah 1.184 armada angkutan umum berbagai jenis setiap hari akan terkumpul Rp 1.184.000. Berapa jumlahnya jika dikalikan satu bulan, satu tahun, lima tahun ?


Antisipatif

Keberlangsungan usaha angkutan umum sangat tergantung pada tiga pilar utama, yaitu pemerintah sebagai regulator, pengusaha sebagai operator, dan masyarakat sebagai user. Ketiga pilar tersebut harus punya komitmen kuat untuk merancang-bangun keberhasilan sistem angkutan umum.Bagi pemerintah, komitmen tersebut dapat diimplementasikan melalui kebijakan yang antisipatif terhadap keberadaan terminal Mangkang. Jika "stop di Mangkang" menjadi kemungkinan terburuk bagi bus-bus AKDP asal Kendal, maka harus ada kebijakan yang bisa "menembus" itu.Misalnya, dengan menghidupkan trayek Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, dan Purwodadi), dengan mengalihkan trayek Sukorejo-Terboyo menjadi Sukorejo-Demak, Sukorejo-Purwodadi, Sukorejo-Ungaran, dan Sukorejo-Salatiga.

Tentu saja harus ada pembicaraan dan kesepakatan terlebih dulu antara Dinas Perhubungan dan Organda di berbagai daerah tersebut, untuk secara bersama-sama meneruskan hasilnya ke tingkat yang lebih atas (provinsi) sebagai pemilik kewenangan trayek AKDP.Dengan trayek Kedungsapur, otomatis bus-bus AKDP asal Kendal bisa "menembuis" masuk Kota Semarang untuk menuju Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga. Demikian sebaliknya bus-bus AKDP asal Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga bisa masuk Semarang untuk menuju Kendal.
Memang hal itu berisiko pada makin banyaknya "pemain" di lapangan, dan tentu persaingan pun menjadi tak ringan. Namun toh lapangan permainan telah diperlebar menjadi wilayah kedungsapur. Dan itu lebih baik daripada harus mati pelan-pelan karena ketiadaan penumpang.Angkutan Kedungsapur mungkin bisa menjadi solusi yang pas, untuk menghadapi kondisi objektif di lapangan. Tentu saja jika ego kewenangan dan sentimen kedaerahan bisa ditanggalkan.
Bagamanapun penumpang dari Kendal, Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga tetap membutuhkan moda angkutan yang bisa mengantar mereka dari dan ke Semarang dengan mudah dan murah tanpa harus berganti-ganti alat angkutan.*

Drs H Rahmad Da'wah,
Penulis adalah Sekretaris Organda Kendal,
anggota Dewan Pendidikan Kendal.

Pemanfaatan Bahu Jalan dan Trotoar


Pada saat kita menyusuri jalan-jalan di Indonesia, khususnya pulau Jawa yang sering saya lewati, maka sering di jumpai di kanan dan kiri badan jalan, bangunan-bangunan sederhana, bangunan semi permanen, bahkan tak jarang dijumpai bangunan permanen yang berdiri di bahu jalan, bahkan ada juga yang bertempat tinggal di tempat tersebut, terutama di jalan-jalan kabupaten/kota. Dan untuk di dalam kota, juga tak jarang kita lihat trotaoar dimanfaatkan untuk berjualan, misalnya buah-buahan, koran/majalah, bengkel tambal ban, tempat titipan sepeda motor dan lain-lain. Belum lagi iklan beberapa counter hand phone yang sering digeletakkan begitu dekatnya dengan badan jalan, dan juga tumpukkan sampah maupun material bekas pengerukkan saluran irigasi atau atau material hasil galian. Hal ini tentu saja menyalahi aturan, karena kalau sesuai dengan ketentuan yang ada. Selain itu, bahu jalan juga digunakan untuk menempatkan material dan peralatan pendukung lainnya dalam rangka perbaikkan jalan/jembatan.

Yang lebih merisaukan sebenarnya adalah tidak dilakukannya tindakan dini oleh pihak/instansi terkait, untuk menertibkannya, sebelum masalah menjadi lebih kompleks, karena akan menyangkut masalah nafkah mereka dan menyangkut masyarakat yang lebih banyak. Sebagai gambaran, untuk membuat suatu banguna sementara, misalnya untuk berjualan 'dawet', atau lapak buah-buahan, tentu memerlukan biaya ratusan ribu rupiah, suatu nilai modal yang cukup besar bagi mereka yang memang bermodal kecil. Apalagi kalau untuk membuat bangunan semi permanen atau bahkan permanen, tentu saja biaya yang dibutuhkan akan mencapai jutaan rupiah. Sekali lagi ini adalah biaya yang teramat besar bagi mereka, dan mereka beranggapan sedang menanam investasi jangka panjang, yang tentu saja berharap bisa selamanya menjalankan usahanya di tempat tersebut.

Tidak bisakah dinas/instansi terkait menertibkan secara dini, yaitu pada saat mereka baru akan memulai kegiatan membangun di tempat tersebut di atas ? Sehingga mereka tidak terlanjur mengeluarkan biaya yang cukup besar menurut ukuran mereka dan mereka belum menggantungkan hidupnya di tempat tersebut. Dan bisa dipastikan, karena satu bangunan dibiarkan berada di tempat yang salah, maka akan tumbuh subur bangunan serupa di sekitarnya dan bahkan di tempat-tempat lainnya.
Bisa dibayangkan saatnya nanti harus ditertibkan, demi keindahan dan ketertiban kota misalnya, dan memang demi tegaknya aturan, maka mereka yang sudah menggantungkan hidupnya di tempat tersebut, bahkan ada yang seluruh keluarganya tinggal di tempat itu, dan jumlah mereka cukup besar, maka mereka akan melawan habis-habisan. Tentu rasa iba akan muncul saat kita melihat cucuran air mata mereka karena sumber kehidupan mereka harus digusur, dan masa depan keluarga mereka terpupus oleh petugas ketentraman dan ketertiban.

Jadi agar tidak ada korban atau untuk meminimalisir korban dan konflik social yang akan timbul di masa mendatang, maka sebaiknya cegahlah secara dini 'bangunan liar' yang akan dibangun masyarakat khususnya di bahu jalan dan trotoar, dengan melakukan pendekatan, memberi pemahaman aturan, dan berilah batas waktu misalnya lima tahun agar membongkarnya, untuk yang sudah terlanjur membangun dan memanfaatkannya. Tentu saja ini adalah tugas kita bersama, tetapi yang lebih wajib melakukannya adalah dinas/instansi yang memang diamahi oleh Negara untuk menjalankan kewenangannya. Semoga kita menjadi masyarakat yang mencintai ketertiban dan keindahan.

Amien.

Kondisi Angkutan UMUM

Oleh : Murdilan

Seiring dengan pesatnya arus globalisasi di negeri ini berimbas pada bidang transportasi utamanya angkutan umum darat. Hal ini dapat dirasakan dampaknya baik oleh kalangan pengusaha angkutan itu sendiri ataupun pihak-pihak terkait,baik kru angkutan, ataupun para pengguna jasa transportasi. Persaingan usaha yang semakin ketat memaksa semua pihak untuk mengoperasikan kendaraan, karena jika tidak dibarengi dengan perhitungan yang cermat bisa berakibat rugi baik perusahaan sebagai pemilik angkutan ataupun awak kendaraan itu sendiri.

Kondisi semacam ini tercermin adanya beberapa jalur trayek di kebumen mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan bahkan ada sejumlah jalur yang benar-benar mati alias tidak ada pelayanan angkutan mengunakan angkutan umum. Setelah dicermati ada beberapa factor penyebabnya antara lain : sepinya penumpang, tingginya biaya operasional, kendaraan roda dua yang begitu menjamur, munculnya becak mesin, Tossa, kereta kelinci, mudahnya akses komunikasi, handphone, dan masih banyak faktor lain yang andil melesukan angkutan umum pada khususnya dan pada bidang lain pada umumnya.

Munculnya pesaing angkutan dengan jenis lain juga merupakan refleksi atau sisi keberhasilan pembangunan akses jalan, jembatan sehingga merangsang orang merubah cara berfikir dan bertindak seperti halnya saudara-saudara kita yang berprofesi mengayuh becak secara manual (ngontel) berganti dipasang mesin walaupun itu semua bukan peruntukkannya bahwa becak menggunakan alat bantu mesin.Lain lagi masalah kereta kelinci, angkutan ini muncul karena ada peluang yaitu peruntukkanya dianggap menunjang kepariwisataan. Alasannya murah meriah dan menguntungkan bagi masyarakat yang terbiasa mabuk apabila naik kendaraan tertutup. Kendaraan ini bisa mengangkut banyak orang walaupun tidak diimbangi dengan pelayanan yang memadai. Contohnya kereta ini biasanya menggunakan kendaraan yang usianya sudah cukup tua merk Toyota Kijang, atau Daihatsu lalu dimodifikasi sedemikian rupa dan ditambah semacam gerbong kereta api.Menjamurnya kendaraan roda dua memang banyak alasan bagi mereka antara lain : praktis, cepat, mudah dan murah.

Betapa tidak tertariknya warga kita banyak dealer/sorum (show room - Red) sepeda motor yang menawarkan discount, uang muka murah, prosesnya cepat, angsurannya murah masih ditambah hadiah. Sekilas pandang tentang faktor-faktor yang turut andil lesunya angkutan umum didaerah ini.Lepas dari itu semua kadang orang sering melupakan hal-hal yang dianggap sepele contoh :Perilaku awak kendaraan yang kurang menghargai pengguna jasa itu sendiri dengan sistim ngetem yang waktunya lama dengan alasan mengejar setoran dan diperparah tarif yang melampaui batas atas dan aji mumpung mana kala ada penumpang yang nanya berapa mas tarifnya. Walaupun tidak semua awak kendaraan seperti itu.Over supply kendaraan di suatu jalur juga berdampak kurang baiknya bagi para pengusaha ataupun awak kendaraan karena berakibat menurunnya pendapatan.Menumpuknya kendaraan di suatu titik akan mengganggu ketertiban umum dan kumuhnya pemandangan. Disisi lain masih ada daerah-daerah yang belum dilayani oleh angkutan umum sekalipun mekanisme perijinan sudah selesai diproses namun lagi-lagi calon pengusaha takut kalau-kalau tidak kembali modal. Sebagai contoh adalah diwilayah pemekaran kecamatan baru yaitu kecamatan Poncowarno kabupaten Kebumen.
Penulis mempunyai pengamatan yang berbeda dalam masalah ini, misalnya kalau calon pengusaha ragu untuk pengadaan kendaraan yang baru apa tidak sebaiknnya menggunakan kendaraan second alias bekas yang penting bisa beroperasi dulu masalah kelengkapan trayek menyusul. Solusinya adalah ambilkan kendaraan dari beberapa jalur yang mati atau over supply.Kami sangat memahami bahwa harga kendaraan baru memang perlu dipertimbangkan masak-masak karena pada prinsipnya seseorang berusaha adalah menggunakan semboyan “Modal sedikit untung sebanyak-banyaknya”, idealnya adalah dengan menanam modal satu juta rupiah dikendaraan angkuatan umum mendapat masukan seribu rupiah setiap hari.Itulah sekelumit kondisi angkutan umum wilayah Kedu Selatan Khususnya Kebumen.

Murtilan
Penulis adalah Sekretaris Organda Kebumen

Optimalisasi Terminal Kebumen


Seringya terminal bus 'megah' Tipe A yang berada di jalur lingkar selatan kota Kebumen milik Pemerintah Kabupaten Kebumen menghiasi media masa cetak, terutama koran lokal jawa tengah, dan beberapakali pertanyaan masyarakat melalui acara Selamat Pagi Bupati di Ratih TV dan Radio In-FM (stasiun televisi dan radio milik pemkab Kebumen), tentang tetap 'sepi'nya terminal tersebut, tak urung membuat jajaran eksekutip maupun legislatip di Kabupaten Kebumen harus merumuskan langkah-langkah yang musti ditempuh untuk menjawab pertanyaan masyarakat tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan dengan beberapakali menggelar rapat dengan instansi terkait, termasuk Organda dan paguyuban awak angkutan setempat. Keputusan dari upaya tersebut diantaranya dengan melebarkan jalan Sijago menjadi dua arah dengan masing-masing terdiri dari dua jalur, disusul dengan mengalihkan sebagian mikrobis dengan trayek Kebumen-Purworejo dan beberapa jalur angkudes dengan trayek dari kota Kebumen kearah timur, mulai 17 Desember 2007 kemarin.

Pun hasilnya masih belum mampu meramaikan terminal yang dibangun dengan biaya 13 M tersebut, sehingga desakan legislatip ke pemkab khususnya Dinas Perhubungan Kabupaten Kebumen agar menyusun langkah lanjutan demi terwujudnya terminal yang 'optimal' (diindikasikan dengan 'ramai'). Bisakah itu terwujud dalam waktu dekat, sesuai harapan masyarakat Kebumen ? Sepertinya bukan jalan yang mudah untuk mewujudkannya, hal ini sering dikemukakan oleh Drs Slamet Budiono yang juga kepala Dishub Kabupaten Kebumen, walaupun bukan berarti menyerah, tetapi tetap berupaya sekuat tenaga dengan melibatkan stakeholders yang ada.

Terminal sebenarnya hanyalah salah satu jenis fasilitas tempat henti untuk perpindahan penumpang, selain bus stop dan shelter, yaitu )*suatu tempat dimana terdapat fasilitas bagi penumpang agar dapat naik ke atau turun dari angkutan umum. Fasilitas perpindahan penumpang merupakan bagian dari sistem penyediaan angkutan umum, sehingga eksistensi dan pengoperasian fasilitas perpindahan penumpang harus pula ditujukan untuk mempercepat proses transfer, memberikan kenyamanan dan keamanan saat menunggu, memberikan informasi yang diperlukan, tidak mengganggu kelancaran dan tidak membahayakan arus lalulintas dan pelestarian serta tidak mengganggu aktifitas di sekitar kawasan.

Dan fungsi Terminal adalah titik simpul berbagai moda angkutan, sebagai titik perpindahan penumpang dari moda satu ke moda lain atau dari berbagai moda ke suatu moda, juga suatu titik tujuan atau titik akhir orang setelah turun melanjutkan berjalan kaki ke tempat kerja, rumah atau pasar, dengan kata lain, terminal adalah sebuah titik henti. Menurut Abubakar Ak (1996) fungsi terminal transportasi jalan dapat ditinjau dari 3 (tiga) unsur utama, (1). Fungsi terminal bagi penumpang, adalah kenyamanan menunggu, kenyamanan perpindahan dari satu moda atau kendaraan ke moda lain, tempat fasilitas-fasilitas informasi dan fasilitas parkir kendaraan pribadi. (2). Fungsi terminal bagi Pemerintah, adalah dari segi perencanaan dan manajemen lalulintas adalah untuk menata lalulintas dan angkutan serta menghindari dari kemacetan, sumber pemungutan retribusi dan sebagai pengendali kendaraan angkutan umum. (3). Fungsi terminal bagi Pengusaha, adalah untuk pengaturan operasi bus/angkutan umum, penyediaan fasilitas istirahat dan informasi bagi awak bus dan sebagai fasilitas pangkalan.


Jenis Terminal

Ditinjau dari tipenya Terminal Penumpang tipe A, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi (AKAP), dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP), Angkutan kota (Angkot), dan/atau Angkutan pedesaan (Ades), dengan frekwensi 50-100 kendaraan/jam. )*Feasibility Studi Terminal Tipo Kota Palu Jadi semua harus bermuara kepada pelayanan angkutan umum yang sesuai tuntutan masyarakat, yaitu nyaman mudah, murah dan cepat. Sehingga kebijakkan apapun yang akan diambil pemkab Kebumen, terkait 'optimalasi' terminal kebumen, jangan sampai justru menambah beban operasional bagi kendaraan, tambahan biaya bagi penumpang karena harus berganti angkutan umum atau karena rute yang dilewati bertambah panjang sehingga otomatis ongkosnya akan bertambah. Harapan itu disampaikan Ngadino selaku ketua DPC Organda Kabupaten Kebumen. Lebih lanjut dikatakan, kalau itu yang terjadi (semua angkudes) harus masuk terminal tipe A Kebumen, maka dikawatirkan justru akan memperlemah iklim usaha angkutan di Kebumen.
Karena tidak akan lagi jadi murah dan cepat, melainkan menjadi lambat (karena harus melalui terminal tipe A dahulu) dan mahal untuk mencapai tujuan, yang pada gilirannya penumpang akan berpindah moda, seperti sepeda motor misalnya. Keberpihakkan pemerintah kepada angkutan umum juga belum begitu nampak, di tempat-tempat fasilitas umum seperti pasar dan pertokoan, tidak jarang justru dipasangi tanda larangan berhenti dan tidak ada halte untuk angkutan umum, sementara kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil justru bisa parkir demikian dekatnya dengan pusat keramaian tersebut. Lalu dimana akan dipertemukan antara penumpang dengan angkutan umum ? dan bagaimana mungkin masyarakat akan beralih ke angkutan umum kalau untuk mendapatkannya saja harus berjalan ratusan meter dengan membawa barang belanjaan misalnya, sementara kalau menggunakan kendaraan pribadi hanya puluhan meter, bahkan kalau becak sudah ada di depan mata ?. Idealnya, kalau mau dilarang berhenti dan atau parkir justru ditujukan kepada kendaraan pribadi, bukan ke angkutan umum.

Nah kalau masih seperti sekarang yang terjadi , berharap pengemudi akan mematuhi rambu larangan berhenti menjadi sesuatu yang berlebihan, walaupun kita tentu saja tidak setuju dengan pelanggaran apapun bentuknya. Jadi berharap terminal tipe A Kebumen Optimal (baca : ramai), tentu saja logis, tetapi terminal hanyalah salah satu fasilitas pendukung dari suatu system transportasi, dan goalnya adalah system transportasi yang aman, nyaman, mudah, cepat dan murah. Jadi kalau yang dibutuhkan halte, untuk di Kebumen seperti di perempatan bakso urip, simpang lima kebulusan, perempatan kedung bener, sekeliling pasar tumenggungan, depan Rita Pasaraya dan tempat-tempat lainnya, mestinya ya dibangun halte, bukannya malah angkutan umum dilarang berhenti. Dan halte juga bukan tempat 'ngetem' angkutan umum, melainkan hanya tempat menaikkan dan menurunkan penumpang.

Tarik Ulur Taksi Semarang

Sebagaimana biasanya, kalau terjadi silang pendapat antara masyarakat, dalam kasus ini operator dan pengemudi taksi kota Semarang, dengan pemerintah (Pemerintah Kota Semarang), maka hasil akhirnya sudah dapat diduga, masyarakat harus tunduk dengan apa yang sudah diputuskan pemerintah. Berbagai alasan sebagai pembenar landasan pengambilan keputusanpun pun diungkapkan, dan pemerintah berkeyakinan kebijakkan yang diambilnya sudah tepat dan untuk masyarakat juga. Seperti halnya dengan kasus diberinya Izin Prinsip taksi Blue Bird pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Wali Kota Semarang, yang hanya berselang dua minggu dari tanggal pengajuannya yakni 29 Nopember 2006, dan dianggap terlalu singkat oleh Djoko Setijowarno , staf pengajar Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (Kompas, 24 Dwsember 2007).

Keberatan para operator dan pengemudi taksi yang disampaikan melalui dialog dan beberapkali unjuk rasa diantaranya berdemo selama tiga hari di Jalan Pemuda Semarang, hanya mampu menunda beberapa saat beroperasinya taksi baru di kota Semarang tersebut, dengan salah satu alasan yang agak mencengangkan yakni karena para pengunjuk rasa mengingkari janji, maka Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip mengijinkan taksi Blue Bird beroperasi secara bertahap mulai Januari 2008 ini.

Sudah benarkah langkah yang diputuskan oleh Wali Kota Semarang, dan seperti apa sebenarnya kondisi usaha taksi di kota semarang, khususnya menurut para operator, yang kami peroleh melalui telpon dan catatan dari Asosiasi Taksi Semarang, serta kondisi angkutan penumpang umum di Indonesia pada umumnya, berikut sedikit gambarannya : Pemerintah Kota Semarang beranggapan bahwa pengusaha (Taksi) Semarang 'nakal', karena dengan sengaja tidak memperpanjang izin yang habis masa berlakunya dan tidak meremajakan kendaraannya, yang jumlahnya sekitar 574 dari 1400 izin operasi yang tersedia. Sementara para operator taksi merasa mereka bukanya nakal, melainkan tidak berdaya meremajakan armadanya, karena kondisi usaha taksi pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 sangat berbeda dengan kondisi tahun 2005 sampai sekarang (baca : 'terpuruk'), dengan alasan antara lain sebagai berikut :- Sejak kenaikkan BBM (premium untuk taksi) sebesar 83 % pada Oktober 2005 terjadi penurunan pendapatan bagi para operator sampai dengan 50 %, walaupun tarip argometernya sudah dinaikkan hingga mencapai 33 % dari tarip sebelumnya, namun karena beban hidup masyarakat justru menjadi bertambah sementara pendapatan masyarakat menurun (sekitar 20 %), maka menyebabkan penurunan penggunaan taksi yang cukup besar.- Penurunan jumlah pengguna taksi juga akibat dari beralihnya masyarakat ke moda lainnya, terutama kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil, karena dewasa ini perbankan/lembaga keuangan terkesan sangat mudah mengeluarkan kredit kepemilikan kendaraan (angka kepemilikan kendaraan pribadi naik 20 % pertahun).- Terjadi tunggakan setoran dari pengemudi yang semakin hari semakin membengkak, sehingga menyebabkan kondisi perusahaan kesulitan (diambang kemacetan)- Target setoran yang tidak terpenuhi, ditambah dengan harga spare part yang tidak pernah berhenti naik dan semakin tuanya kendaraan menyebabkan beban operasinal bertambah besar.- Kenyataan yang ada dari 826 unit armada yang masih memiliki izin operasional, tidak mampu diperasikan bersamaan, karena menurut perhitungan hanya dibutuhkan 671 unit armada taksi. (selengkapnya lihat box).

Sementara Pemkot Semarang melihat, ada 574 izin operasional tidak diperpanjang, sehingga berhak mengeluarkan izin baru yang hanya 300 unit untuk Blue Bird, dengan asumsi kondisi pengguna taksi masih seperti sebelumnya. Nampak ada perbedaan asumsi jumlah pengguna jasa taksi versi Pemkot dengan realita pengguna jasa taksi versi 'Asosiasi Taksi'. Namun hasil 'Survey Permintaan dan Penawaran Jasa Angkutan Taksi di Semarang (16-20 November 2007) Laboratorium Transportasi Fakultas Teknik Sipil UNIKA Sogijapranata Semarang, dengan Tim peneliti Drs Joko Setyowarno, MT, Dr.B.Karno Budiprasetyo, dan O. Digdo Hartomo, SE, M.Si, menyimpulkan :1. Tingkat penggunaan jasa angkutan taksi di Semarang menunjukkan tingginya kebutuhan konsumen akan jasa angkutan taksi, dan persepsi konsumen pengguna jasa angkutan taksi selama ini dapat terpenuhi dengan ketersediaan taksi di Semarang, baik di jalan, lewat operator, di tempat mangkal, maupun di berbagai tempat fasilitas umum.2. Persepsi pengemudi taksi di Semarang menunjukkan bahwa penawaran taksi di Semarang selama ini sudah berlebihan sehingga dirasakan sulit untuk mencari penumpang, baik di jalan, lewat operator, di tempat mangkal, maupun di berbagi tempat fasilitas umum.3. Kejenuhan ini akan semakin dirasakan oleh para pengemudi taksi apabila semakin banyak armada taksi yang beroperasi di kota Semarang, karena semakin sulit bagi para pengemudi taksi untuk memperoleh penumpang yang berdampak pada tingkat pemenuhan target para pengemudi. Artinya, apabila armada taksi yang beroperasi di kota Semarang semakin banyak, maka semakin turun pula kesejahteraan para pengemudi taksi dan berpotensi untuk menciptakan pengangguran baru di kota Semarang.

Survey dilakukan terhadap 500 responden pengguna jasa taksi,dan 100 pengemudi taksi yang bekerja pada 6 (enam) operator taksi di kota Semarang dengan metode 'purposive quota sampling', dengan respon rate para pengguna jasa angkutan taksi 343 responden (69 %) dan pengemudi taksi 82 responden (82 %). Kesimpulan di atas diambil karena dari hasil pengolahan data diketahui bahwa, 81,05 % responden yang memesan taksi melalui telepon ke operator, dan 88,6 % responden yang memesan melalui telepon (hanya menunggu kurang dari 15 menit untuk penjemputan), dan ersponden yang memperoleh taksi di jalan sebesar 96,79 %, mengatakan mudah mendapatkan taksi di Semarang karena jumlah taksinya banyak, demikian juga 93 % responden merasa mudah mendapatkan taksi di tempat mangkal dan 97,08 % responden merasa mudah mendapatkan taksi di berbagai fasilitas umum.
Kemudahan konsumen memperoleh taksi dirasakan sebaliknya oleh pengemudi taksi, yakni para responden pengemudi taksi yang merasa sulit memperoleh penumpang sebanyak 91,46 % di Jalan, 73,17 % di tempat mangkal. Dan 73,17 % lewat operator (karena banyaknya antrian mendapat panggilan operator). Dari data yang diperoleh dari Asosiasi Taksi Semarang dengan 826 unit armada taksi yang dioperasikan, dipadukan dengan hasil suvey, ternyata para pengemudi taksi sudah merasa sulit untuk mendapatkan penumpang, sementara sebagian besar pengguna jasa taksi merasa mudah memperoleh taksi. Dan hitungan operator taksi untuk bisa optimal sebenarnya kebutuhan taksi hanya sebesar 671 unit armada (atau kurang dari 50 % dari kebutuhan yang ada 'versi' Pemkot Semarang sebesar 1400 unit armada), setidaknya jumlah 826 unit yang masih beroperasi lebih dari memadai.

Berbicara masalah over supply jumlah angkutan penumpang umum, sebenarnya tidak hanya menimpa taksi di Semarang, tetapi juga hampir terjadi di semua kota di Indonesia, seperti pernah diungkapkan oleh ketua DPP Organda Drs Murphy Hutagalung MBA, saat rapat koordinasi dan menyampaikan hasil Rukernas/Badan Musyawarah Pleno Organda, dengan DPD dan seluruh DPC Jawa Tengah pada tanggal 7 Agustus 2007 di Hotel Plasa Jalan Setia Budi Semarang, yang mengambil ketersediaan angkuta di kota Bogor dan bis yang melayani trayek Jakarta-Bogor juga yang sangat jauh melebihi kebutuhannya. Contoh lain Trayek Petanahan (Kebumen)-Jogjakarta yang jatah semula menurut hitungan 16 unit armada seat 24, dirapatkan dan ditambah menjadi 20 unit armada, dan hasilnya sekarang, jangankan 20 unit, bahkan untuk 10 unit saja tidak sanggup dioperasikan, harus bergiliran karena sepinya penumpang, terang Murdilan, sekretaris DPC Organda Kebumen yang kebetulan tinggal tidak jauh dari terminal Petanahan. Hal yang sama dikemukakan oleh DPC Organda Kota Semarang saat rakor DPD Organda se Jateng di Hotel Pattimura Semarang tanggal 11 Desember 2007.

Sekilas alasan akan ada tambahan lapangan kerja bagi para pengemudi taksi yang baru memang rasional, namun dikawatirkan hanya akan menggusur yang sudah ada, artinya kalau ada 300 yang baru maka minimal juga akan ada 300 yang terlempar ? Diperlukan perencanaan yang matang oleh para pemangku kepentingan mengenai system transportasi jangka panjang, bentuknya, tahapannya, dan regulasinya. Keberadaan Trans Jakarta 'menghempas'kan moda angkutan lainnya, termasuk taksi di Jakarta, hendaknya dijadikan pelajaran buat kita semua. Asosiasi Taksi semarang bertekad menempuh jalur hukum, karena menduga Pemkot Semarang kemungkinan telah melanggar PP No.41/1993 tentang Angkutan Jalan , yakni Pasal 37 (1) Penetapan wilayah operasi yang terbuka untuk penambahan jumlah kendaraan bermotor, dilakukan apabila tingkat penggunaan kendaraan bermotor di atas 60 persen. Dan masksud dari ketetapan tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 37 dari UU tersebut yakni (1) Dengan tingkat penggunaan di atas 60 persen, tetap dapat diwujudkan iklim usaha angkutan yang sehat. Masih bisakah mereka menjadi tuan rumah di tempat sendiri, kita tunggu hasil dari para pengambil keputusan, yang diharapkan bisa memahami 'duduk-selehe', dan membuahkan keputusan yang tidak sekedar 'bener' tetapi juga 'pener'. Dan langkah tersebut didukung oleh seluruh DPD beserta DPC Organda se Jawa Tengah yang hadir pada saat rapat koordinasi tanggal 11 Desember 2007 di Hotel Pattimura Semarang, mendukung apa yang diperjuangkan oleh Asosiasi Taksi Semarang dan para pengemudinya, yakni dibatalkannya Ijin Operasi Taksi baru. Keputusan rapat tersebut bukan berarti Organda se Jateng memusuhi Blu Bird, tetapi mendorong agar dilakukan pengkajian yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk Organda, agar tujuan sebagaimana tertuang dalam penjelasan PP No.41/1993 pasal 37 ayat (1) di atas dapat terwujud, yakni : Tetap dapat diwujudkan iklim usaha yang sehat.

Menanti Pelayanan Prima Jasa Raharja

Oleh : Soepoyo, S.Pd.


PT. Jasa Raharja adalah satu satunya asuransi yang mengadakan dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang di urus dan dikuasai oleh suatu perusahaan Negara,yang dananya dipungut dari tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum,diantaranya : Angkota, Angkudes / Bus AKDP dan AKAP.Yang iurannya wajib dibayar melalui Pengusaha / Pemilik perusahaan angkutan yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan yang ditetapkan dengan UNDANG UNDANG No.33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.


CARA MENGURUS CLAIM ASURANSI PT. JASA RAHARJA

Mengurus Asuransi ini sebetulnya sangat mudah,yaitu antara lain : Adanya Berita Acara Kecelakaan dari Kepolisian di mana kecelakaan terjadi / Laporan Polisi tentang Kecelakan Surat keterangan dokter di mana pasien / korban dirawat Keterangan dari Pamong Praja mengenai asal kependudukan Namun sesuatu yang mudah ini sering menjadi kendala bagi Pengusaha / Pemilik Kendaraan Umum dan Korban karena sesuatu yang mudah dalam kenyataannya menjadi sesuatu yang sangat sulit / mencekik. Pada kenyataannya untuk memperoleh surat Laporan Polisi Tentang Kecelakaan harus menghadirkan barang bukti yang mana kalau barang bukti dihadirkan sudah barang tentu Armada / Kendaraan tidak bisa operasional yang berakibat tidak adanya pendapatan di perusahaan ,belum nantinya apabila mengambil bon pinjam barang bukti kendaraan tentunya tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Para Pengusaha / Pemilik Kendaraan,masih bisa memaklumi apabila kecelakaan yang berakibat luka berat si Korban atau sampai meninggal dunia ,sehingga membutuhkan biaya / dana perawatan tinggi,barangkali sesuai dengan apa yang nanti akan didapat claim dari PT. Jasa Raharja maksimal Rp. 5.000.000,00 ( lima juta rupiah ) tetapi kalau biaya perawatan hanya sekitar Rp. 200.000,00 sampai Rp. 1.000.000,00 ( dua ratus ribu sampai satu juta rupiah ) maka Arep Ngirit Malah Jadi Ngorot ( mau hemat malah jadi boros ).


MOMOK BAGI PENGUSAHA

Untuk mengurus Claim pada PT. Jasa Raharja dibawah Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) merupakan momok bagi para pengusaha Angkutan Umum Karena pada akhirnya kerugian yang akan di terima karena birokrasi yang tidak berpihak,sehingga asuransi akan meraup keuntungan besar yang tentunya nyaris sejalan dengan UNDANG UNDANG No.33 Tahun 1964.


PERMUDAH PENGURUSAN

Para pengusaha angkutan umum tentunya berharap PT. Jasa Raharja bisa memahami kesulitan yang dialami, lebih lagi dalam kondisi saat ini para pengusaha angkutan umum sedang mengalami keterpurukan yang sudah berada di ujung kehancuran ibarat Mati Segan Hidup Tak Mau oleh karena itu beranikah pemerintah - cq PT. Jasa Raharja untuk mengambil kebijakan yang menuju pelayanan Prima pada pengurusan Claim Asuransi kecelakaan Angkutan Umum itu ?. Dengan berani memberikan kemudahan dalam mengurus Claim yang nilainya di bawah Rp. 1.000.000.,00 ( satu juta rupiah ) dengan hanya menunjukkan tanda bukti dari Dokter dan Rumah Sakit serta Laporan Polisi tingkat Sektor di mana tempat kejadian kecelakaan ( tidak harus melalui Unit Sidik Laka Lantas di Polres ) maka, tentunya PT. Jasa Raharja akan memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna Jasa Angkutan Umum melalui para Pengusaha Angkutan Umum berupa PELAYANAN PRIMA

Pengirim : SOEPOYO S.Pd. DPC ORGANDA KAB - TEMANGGUNG
DPC ORGANDA KAB - TEMANGGUNG Ketua : SOEPOYO S.P.Sekertaris : SUMARGONO Bendahara : UNTUNG SUROSO

Sehari Hanya Cukup Untuk Beli Bohlam

Saat acara reorganisasi pengurus paguyuban Waras Santoso, yaitu paguyuban operator dan crew angkudes jurusan Karanganyar-Kaleng, di desa Bumirejo kec Puring kebumen, sebelum dimulai sempat terjadi perbincangan ringan dengan peserta rapat.
Dari penuturan Sudarman, ketua paguban yang lama, setoran satu hari angkudes di jalur tersebut antara Rp 20,000 hingga Rp 35,000 perhari. Karena dengan jarak yang hanya kurang lebih 17 km, dilayani oleh 12 angkudes, dan ada satu lagi yang belum bertrayek, jadi total ada 13 unit, sehingga yang sering terjadi dalam satu hari hanya kebagian satu kali pulang pergi. Para pengemudi di jalur tersebut, tidak berani berspekulasi, sehingga semuanya harus ngetem, dan setelah terisi penuh baru berani berjalan.

Dapat kita bayangkan 20,000 rupiah satu hari, atau hanya 500,000 rupiah satu bulan untuk 25 hari beroperasi. Angka ini masih dibawah UMK yang ditetapka Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk Kabupaten Kebumen 507,000 rupiah tahun 2007 dan sebesar 550,000 tahun 2008. Kalau dihitung untuk membeli ban, oli, pajak, biaya uji kendaraan, dan lain-lainnya berapa yang bisa masih tersisa ? Jadi lanjut Sudarman, kalau kebetulan ada bohlam lampu depan yang putus, maka pengemudi hanya setor berupa nota pembelian bohlam.
Dan saat tanya jawab antara saya dengan anggota lainya, ada yang menyakan, pak boleh nggak kalau terlambat mengurus perpanjangan trayek, dan apa sangsinya.
Saat saya tanya kenapa harus terlambat, kan peranjangan trayek terjadi lima tahun sekali, apa tidak bisa dipersiapkan sebelumnya ?
Rupanya mereka takut tidak dapat mengumpulkan uang 250,000 sebagai biaya perpanjangan trayek angkudesnya. Hal ini saya sampaikan kepada bapak Guritno saat ada kesempatan berkunjung ke kantor saya, saya sampaikan agar diteruskan kepada jajaran yang lebih tinggi di PT Jasa Raharja (Persero) Jawa Tengah, jangan hanya melihat 1000 rupiahnya, memang kecil, tetapi kenyataannya sudah tidak ada lagi sisa uang yang bisa dialokasikan dari pendapatan yang hanya sekitar 20,000 rupiah sehari, yang juga menjadi sumber nafkah bagi pemiliknya.

Klaim Tidak Cucuk

Pada umumnya para operator angkutan penumpang umum , baik itu operator Angkudes, AKDP, maupun AKAP, senantiasa patuh dengan besaran ketetapan iuran wajib dana pertanggungan wajib Kecelakaan Penumpang dan ketepatan pembayaranya sesuai dengan SK Menkeu Nomor 415 Tahun 2001. Namun kadang masih dirasa ada hubungan yang tidak seimbang antara operator Angkutan Umum dengan PT Jasa Raharja (Persero), yang terkesan PT Jasa Raharja (Persero) mau enak sendiri, seperti beberapa tahun yang lalu dan sekarang masih terjadi dibeberapa tempat, STNK akan ditahan saat membayar Pajak Kendaraan hingga pembayaran Premi Jasa Raharjanya dilunasi. Seperti dinyatakan oleh salah satu pengurus paguyuban di Kabupaten Magelang saat rapat koordinasi DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu tanggal 3 Nopember 2007. Dan bahkan ada yang meminta untuk dibayar satu tahun kedepan, bersamaan dengan saat pembayaran Pajak Kendaraan Bermotornya. Lain lagi yang dilakukan petugas Jasa Raharja di terminal Purwokerto, biasanya mereka melakukan 'operasi' pada akhir bulan, untuk pembayaran Premi Jasa Raharja bulan berikutnya, atau kadang di awal bulan untuk pembayaran Premi pada bulan yang sedang berjalan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan peraturan yang ada, karena kewenangan menahan STNK hanya boleh dilakukan oleh polisi, dengan alasan-alasan yang sesuai dengan Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 14 Tahun 1992. Dan juga memungut Premi Jasa Raharja untuk satu tahun ke depan juga tidak logis, kecuali karena kemauan operator sendiri, karena pada prinsipnya para operator mengumpulkan dahulu iuran jasa raharja dari para penumpang, untuk kemudian dibayarkan ke PT Jasa Raharja (Persero), hal ini bisa dilihat dari UU Nomor 33 Tahun 1964 Pasal 5 : Paling lambat pada tanggal 27 dari setiap bulan, pengusaha dan perusahaan-perusahaan kendaraan tersebut pada pasal 3 ayat (1) sub a sudah harus menyetorkan hasil penerimaan uang iuran wajib dari para penumpang kepada dana pertanggungan melalui bank atau badan asuransi yang ditunjuk oleh Menteri.

Walaupun diakui juga mulai ada perubahan sikap dari sebagian petugas Jasa Raharja di lapangan dalam memungut Premi Jasa Raharja, namun perubahan ini diharapkan dapat menyeluruh terhadap semua petugas Jasa Raharja di semua tingkatan. Dan diperlukan terobosan kebijakkan agar tidak memberatkan para operator angkutan umum, seperti misalnya kadang berhari-hari bahkan berbulan-bulan kendaraan tidak beroperasi, baik karena diperbaiki, maupun karena susahnya memcari crew yang mampu bekerja dalam situasi sulit seperti saat ini. Kebijakkan yang selama ini ada ialah menitipkan surat-surat kendaraan yang tidak beroperasi agar bisa tidak membayar Premi Jasa Raharjanya, hal ini menjadi masalah baru bagi operator yang tempatnya jauh, misal 30 km dari kantor Dinas Perhubungan setempat, terkait dengan biaya transportasi dan waktu untuk menitipkan dan mengambil kembali saat kendaraan akan beroperasi kembali. Kalau dilihat nilai uangnya mungkin sepertinya kecil, misalnya Rp 23.000 sebulan, atau sehari kurang dari Rp 1,000 jika dalam satu bulan kendaraan beroperasi selama 25 hari. Namun dalam situasi angkutan seperti saat ini, hal itu ternyata sangat memberatkan. (lihat box : satu hari hanya untuk beli bohlam ). Dan masalah juga timbul saat terjadi kecelakaan penumpang, disamping beban pikiran yang tertekan akibat terkena musibah, terbayang di depan mata rangkain urusan yang melelahkan, sebelum mengurus klaim asuransi. Mengurus klaim dari sisi aturan, memang relative mudah, asal persyaratannya lengkap, yaitu : - Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat, - Mengisi formulir pendaftaran dengan melampirkan : a. Keterangan kecelakaan Lalu Lintas dari Kepolisian dan atau instansi berwenang lainnya. b. Keterangan kesehatan dari dokter/RS yang merawat. c. KTP/Identitas korban/ahli waris korban. Tetapi harus pontang-panting mengurus persyaratan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bahkan menurut H Sutanto, ketua DPC Organda Kabupaten Banyumas, untuk klaim Jasa Raharja dengan nilai dibawah Rp 1,000,000 dianggap tidak cucuk, artinya besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus klaim mendekati angka klaim yang dimintakan. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Wartono dan diamini oleh pengurus paguyuban lainnya dari Paguyuban Awak Manunggal Kebumen Purworejo, yang biasa membantu menangani urusan kecelakaan lalu lintas yang menimpa anggotanya, saat saya tanya tentang 'klaim yang tidak cucuk'. Belum lagi kesan selama ini pada masyarakat, bahwa pengemudi dan atau pengusaha harus bertanggung jawab sepenuhnya atas biaya perawatan korban, dan penggantian dari Jasa Raharja merupakan bagian yang berdiri sendiri. Atau permintaan dari pihak korban untuk biaya berobat jalan, setelah keluar dari perawatan di rumah sakit. Padahal sesuai aturan yang ada, sampai dengan satu tahun dari saat kecelakaan penumpang, semua biaya perawatan masih menjadi tanggung jawab PT Jasa Raharja (Persero), sepanjang klaim biaya perwatannya masih belum mencapai batas maksimal klaim yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 pasal 10 : (1)Kecuali dalam hal-hal tersebut dalani pasal 13 di bawah, tiap penumpang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, termasuk mereka yang dikecualikan dari iuran wajib menurut/berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, diberi jaminan pertanggungan kecelakaan diri selama penumpang itu berada di dalam alat angkutan yang disediakan oleh pengangkutan untuk jangka waktu antara saat-saat sebagai berikut: a.dalam hal kendaraan bermotor umum: antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat turunnya dari kendaraan tersebut di tempat tujuan b. … dan seterusnya...(2)Jaminan yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, berupa pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal-hal sebagai berikut: a … dan seterusnya … c.dalam hal ada biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari. Biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter tersebut meliputi semua biaya-biaya: pertolongan pertama pada kecelakaan, honorarium dokter, ala-alat pembalut dan obat-obat atas resep dokter, perawatan dalam rumah sakit, photo rontgen, pembedahan dan lain-lain yang diperlukan menurut pendapat dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumlah pembayaran untuk membeli anggota-anggota badan buatan, seperti kaki/tangan buatan, gigi/mata palsu, dan lain sebagainya.Dan masih menurut Wartono, kadang juga harus membahas obat-obatan yang bisa diklaimkan atau tidak, seperti misalnya pembelian pen untuk patah tulang. Sekali lagi diharapkan ada terobosan aturan yang memudahkan permintaan klaim bagi korban kecelakaan penumpang, yang sederhana dan berbiaya murah, atau bahkan semua urusan klaim beserta kelengkapan persyaratannya diurus oleh pihak PT Jasa Raharja (Persero), operator cukup melaporkan bahwa telah terjadi kecelakaan penumpang ke kantor Jasa Raharja terdekat. Sebagai pembanding, saya mengasuransikan kendaraan pribadi ke salah satu perusahaan asuransi, dan saat kendaraan mengalami kerusakan karena meneyerempet jembatan, kita cukup menelepon ke mereka, dan kendaraan bisa dibawa kapan saja kita ada waktu untuk dibawa ke bengkel, mereka cukup memotret dan saya mengisi formulair klaim, urusan selanjutanya sudah antara bengkel dengan pihak asuransi, kita sudah selesai. Kita nantikan aksi nyata dari PT Jasa Raharja (Persero) agar hak 'partner' dijunjung tinggi dan tidak pernah ada lagi 'klaim yang tidak cucuk'.

Jasa Raharja Diskriminatif

Oleh : Ir. H. Ngadino


Iuran wajib Jasa Raharja Penumpang Angkutan Penumpang Umum atau Premi Jasa Raharja adalah dana yang dihimpun oleh PT Jasa Raharja (Persero) dari para penumpang angkutan umum melalui perusahaan/operator angkutan penumpang umum sebagai pembayaran ganti rugi akibat kecelakaan penumpang, sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Pasal 1 (c) : “Dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang” yalah dana yang terhimpun dari iuran-iuran, terkecuali jumlah yang akan ditetapkan oleh Menteri untuk pembayaran ganti rugi akibat kecelakaan penumpang. , dan Pasal 3 ayat (1) a. Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Khusus untuk angkutan penumpang umum dari kendaraan bermotor, saat ini, dikelompokan menjadi Angkutan Perkotaan (Angkot) untuk angkutan umum yang beroperasi di wilayah Kotamadya dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Angkutan Pedesaan (Angkudes) untuk angkutan umum yang beroperasi di Wilayah Kabupaten, Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) untuk angkutan umum yang melayani antar kota dalam propinsi yang sama, dan Angkutan Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) untuk angkutan yang melayani antar kota dari propinsi yang berbeda. Selain itu masih ada taksi, angkutan pemandu moda dan lain-lain. Semua jenis angkutan tadi dikenakan Premi Jasa Raharja, yang pada saat ini besaranya merujuk pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 415/KMK.06/2001. Tentang Penetapan Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara, tanggal 17 Juli 2001.

Sejak saya mengetahui bahwa ada perbedaan Premi Jasa Raharja untuk Angkudes yang harus membayar, dengan Angkot yang dibebaskan dari membayar Premi Jasa Raharja, maka timbul pertanyaan kenapa bisa terjadi demikian. Hal tersebut senantiasa saya bawa ke forum resmi Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan Raya) baik saat Musyawarah Nasional (Munas) tahun 2004 di Manado, maupun saat Badan Musyawarah Pleno (BMP)/ Musyawarah Kerja Nasioanl (Mukernas) yang setiap tahun diadakan oleh Organda, namun belum pernah menjadi suatu keputusan dari kedua forum akbar Organda tersebut di atas.
Kondisi angkutan yang memprihatinkan akibat dari kebijakkan kenaikan Bahan Bakar Minyak pada Oktober 2005, membuat beberapa operator angkudes di wilayah kebumen mulai berguguran, bahkan ada beberapa jarring trayek yang mati (tidak lagi dilayani oleh angkudes). Dan saya selaku ketua DPC Organda Kabupaten Kebumen, menolak menandatangi surat permintaan kenaikan Premi Jasa Raharja oleh PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah, pada tahun 2006, khususnya untuk angkudes seat 12, dari Premi bulanan sebesar Rp 17,000 menjadi Rp 23,000, dengan alasan melihat kenyaataan rendahnya Load Factor dan menurunnya daya beli masyarakat saat ini. Tetapi kenyataannya dilapangan kenaikkan tersebut telah dilaksanakan. Dan pada tanggal 28 Agustus 2007 ketua DPC Organda Kabupaten Magelang, Drs H Dulchori Arief, setelah mendengarkan keluhan anggota Organda yang demikian beratnya dalam menjalankan usahanya, membuat surat Permohonan Penurunan Premi Jasa Raharja kepada PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah Nomor : 082/ORG/VII/07, diantaranya untuk Angkudes disamakan dengan Angkot, sebagai salah satu solusi mengatasi keterpurukan para operator angkutan umum, khususnya para operator angkudes.(lihat box 1). Dan jawaban dari PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah sangat normative, dan tidak sesuai harapan para operator angkutan umum. (lihat box 2). Kemudia pada tanggal 3 Nopember 2007 dalam rapat koordinasi DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu di Kantor DPC Organda Kabupaten Magelang, menghasilkan Nota Kesepahaman Nomor : 001/ORG/XI/07 dan ditujukan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan tembusan dikirim kepada Instasi terkait (lihat box 3). Butir 7 dari nota kesepahaman kembali menegaskan permohonan untuk pembebasan Premi Jasa Raharja bagi Angkudes. Nota kesepahan tersebut menjadi keputusan Rapat Koordinasi DPD Organda Jawa Tengah pada tanggal 11 Desember 2007 di Hotel Pattimura Semarang, dan sebelumnya juga sudah menjadi keputusan bersama antara DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu, DPC Organda Kabupaten Banyumas, dan DPC Organda Kendal melalui rapat koordinasi di kantor DPC Organda Kabupaten Kebumen tanggal 9 Desember 2007. Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada satupun ketentuan yang ada dalam UU Nomor 33 Tahun 1964 tersebut yang mengakibatkan perbedaan pembayaran Premi Jasa Raharja khususnya antara Angkot dengan Angkudes, yang seharusnya keduanya dibebaskan dari membayar Premi, dengan memperhatikan pasal-pasal dari UU tersebut berikut ini : Pasal 3.(1) a. Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. b. Penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dibebaskan dari pembayaran iuran wajib. Pasal 3 (1) b, digunakan sebagai dasar untuk membebaskan kewajiban terhadap angkutan perkotaan. Kata 'kota' dalam kalimat Penumpang kendaraan bermotor umum 'di dalam kota', tidak menyebut di Kotamadya ataupun di DKI, dan juga tidak ada penjelasan dalam UU terbebut apa yang dimaksud dengan istilah 'kota'. Sehingga sudah sepantasnya semua yang mempunyai sebutan 'kota', seperti Kota Kebumen, Kota Gombong, Kota Temanggung, Kota Purworejo, dan kota-kota lainya diseluruh Indonesia yang pada saat termasuk dalam obyek dari klausul tersebut. Dan UU tersebut dibuat tahun 1964 keadaanya tentu tidak seperti sekarang, sebagai contoh di Jogjakarta baru angkutan perkotaan baru ada tahun 1970 an, dan itupun diawali dengan menggunakan 'colt' yang dikenal dengan colt kampus, sedangkan untuk bis kota baru ada pada akhir tahun 1970-an, dan juga kota-kota lainnya kondisinya tidak jauh berbeda. Lebih lanjut kita lihat pada penjelasan pasal 3 dari UU Nomor 33 berikut ini : Berhubung kereta api merupakan alat pengangkutan yang murah bagi rakyat banyak, terutama untuk jarak-jarak dekat dimana rakyat kecillah yang mempergunakan kesempatan itu, maka sudah sewajarnya bahwa para penumpang kereta api untuk jarak kurang dari 50 km dibebaskan dari pembayaran iuran wajib tersebut meskipun terhadap mereka tetap diberikan jaminan pembayaran ganti-kerugian bila mereka mengalami kecelakaan dalam perjalanan.
Pun bagi penumpang kereta api kota (ringbaan dan trem listrik) berlaku ketentuan-ketentuan yang sama seperti tersebut di atas. Sedangkan bagi para penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota yang dibebaskan dari pembayaran iuran wajib, diberikan juga jaminan pembayaran ganti kerugian yang dimaksud.

Penumpang Angkutan Pedesaan tidak berbeda dengan penumpang kereta api dengan jarak kurang dari 50 km, yaitu angkutan kelas ekonomi yang dimanfaatkan oleh rakyat kecil dan para operatornya kebanyakan pengusaha kelas menengah bawah, bahkan banyak juga pemilik angkudes yang merangkap sebagai pengemudi.

Dan masih menurut Undang-Undang yang sama kewajiban melakukan perlindungan terhadap penumpang yang sebenarnya berada dipundak Pemerintah dan iuran wajib hanya dibebankan untuk golongan berada atau mampu saja, sebagaimana terdapat dalam penjelasan pasal berikut ini : UMUM. 1. Setaraf dengan kemajuan teknik modern dalam penghidupan manusia bermasyarakat, terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya.Pada dasarnya, setiap warganegara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena resiko-resiko demikian.Ini merupakan suatu pemikiran sosial.

Oleh karena keadaan ekonomi dan keuangan dewasa ini belum mengizinkan, bahwa segala akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditampung oleh Pemerintah, maka perlu usaha ini dilakukan secara gotong-royong. Manifestasi dari kegotong-royongan ini adalah dengan pembentukan dana-dana yang cara pemupukannya dilakukan dengan mengadakan iuran-iuran wajib, dimana akan dianut principe bahwa yang dikenakan iuran wajib tersebut adalah hanya golongan atau mereka yang berada atau mampu saja, sedang hasil pemupukannya akan dilimpahkan juga kepada perlindungan jaminan rakyat banyak.

Jadi permintaan pembebasan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang bagi angkutan pedesaan tidak bertentangan dengan UU Nomor 33 Tahun 1964, dan adalah hak operator Angkudes sehingga hukumnya wajib untuk dipenuhi, dan saya yakin akan didukung oleh seluruh DPC Organda Kabupaten di Indonesia. Diharapkan jiwa besar dari PT Jasa Raharja (Persero) untuk memenuhinya, demi keberlangsungan usaha angkutan pedesaan di Indonesia, jangan ada lagi diskrimanasi. Dan saya berharap semua pemangku kepentingan untuk berkenan mengambil kebijakkan yang memadahi dan melegakan. Sehingga tanpa harus menerbitkan Peraturan Pemerintah yang barupun, sesuai dengan UU di atas Pasal 3 ayat (2) :Dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan pengecualian dari pembayaran iuran wajib seperti termaksud pada ayat (1) sub a di atas, sesungguhnya sudah cukup.

Sambil menunggu hasilnya, mari tanyakan pada diri kita masing-masing, dan juga pada ahlinya dimanakah orang-orang miskin di Indonesia berada dan berapa banyak ? Di perkotaan ataukah di pedesaan ? Karena saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998, diskriminasi terhadap operator Angkudes juga terjadi, dimana bantuan kredit lunak via Organda hanya diperuntukkan bagi operator Angkutan Perkotaan, yang konon kabarnya banyak yang tidak kembali hingga saat ini, sementara operator Angkudes tidak mendapatkannya. Saatnya kini untuk menyamakan hak operator Angkudes dengan pembebasan kewajiban membayar Premi Jasa Raharja segera, sama seperti para operator Angkot. Kita tunggu perlakuan adil dan bijak dari pemangku kepentingan sehingga 'wong nDesa' bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan 'orang kota', kalau diperlukan terbitkan Peraturan Pemerintahnya, dan juga mungkin sudah saatnya UU No 33 Tahun 1964 untuk direvisi. Semoga segera terwujud, Amien.


Ir. H. Ngadino
Penulis adalah Pimpinan Redaksi ‘MODA’
Ketua DPC Organda Kab. Kebumen