Jumat, 11 Januari 2008

Jasa Raharja Diskriminatif

Oleh : Ir. H. Ngadino


Iuran wajib Jasa Raharja Penumpang Angkutan Penumpang Umum atau Premi Jasa Raharja adalah dana yang dihimpun oleh PT Jasa Raharja (Persero) dari para penumpang angkutan umum melalui perusahaan/operator angkutan penumpang umum sebagai pembayaran ganti rugi akibat kecelakaan penumpang, sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Pasal 1 (c) : “Dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang” yalah dana yang terhimpun dari iuran-iuran, terkecuali jumlah yang akan ditetapkan oleh Menteri untuk pembayaran ganti rugi akibat kecelakaan penumpang. , dan Pasal 3 ayat (1) a. Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Khusus untuk angkutan penumpang umum dari kendaraan bermotor, saat ini, dikelompokan menjadi Angkutan Perkotaan (Angkot) untuk angkutan umum yang beroperasi di wilayah Kotamadya dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Angkutan Pedesaan (Angkudes) untuk angkutan umum yang beroperasi di Wilayah Kabupaten, Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) untuk angkutan umum yang melayani antar kota dalam propinsi yang sama, dan Angkutan Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) untuk angkutan yang melayani antar kota dari propinsi yang berbeda. Selain itu masih ada taksi, angkutan pemandu moda dan lain-lain. Semua jenis angkutan tadi dikenakan Premi Jasa Raharja, yang pada saat ini besaranya merujuk pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 415/KMK.06/2001. Tentang Penetapan Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara, tanggal 17 Juli 2001.

Sejak saya mengetahui bahwa ada perbedaan Premi Jasa Raharja untuk Angkudes yang harus membayar, dengan Angkot yang dibebaskan dari membayar Premi Jasa Raharja, maka timbul pertanyaan kenapa bisa terjadi demikian. Hal tersebut senantiasa saya bawa ke forum resmi Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan Raya) baik saat Musyawarah Nasional (Munas) tahun 2004 di Manado, maupun saat Badan Musyawarah Pleno (BMP)/ Musyawarah Kerja Nasioanl (Mukernas) yang setiap tahun diadakan oleh Organda, namun belum pernah menjadi suatu keputusan dari kedua forum akbar Organda tersebut di atas.
Kondisi angkutan yang memprihatinkan akibat dari kebijakkan kenaikan Bahan Bakar Minyak pada Oktober 2005, membuat beberapa operator angkudes di wilayah kebumen mulai berguguran, bahkan ada beberapa jarring trayek yang mati (tidak lagi dilayani oleh angkudes). Dan saya selaku ketua DPC Organda Kabupaten Kebumen, menolak menandatangi surat permintaan kenaikan Premi Jasa Raharja oleh PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah, pada tahun 2006, khususnya untuk angkudes seat 12, dari Premi bulanan sebesar Rp 17,000 menjadi Rp 23,000, dengan alasan melihat kenyaataan rendahnya Load Factor dan menurunnya daya beli masyarakat saat ini. Tetapi kenyataannya dilapangan kenaikkan tersebut telah dilaksanakan. Dan pada tanggal 28 Agustus 2007 ketua DPC Organda Kabupaten Magelang, Drs H Dulchori Arief, setelah mendengarkan keluhan anggota Organda yang demikian beratnya dalam menjalankan usahanya, membuat surat Permohonan Penurunan Premi Jasa Raharja kepada PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah Nomor : 082/ORG/VII/07, diantaranya untuk Angkudes disamakan dengan Angkot, sebagai salah satu solusi mengatasi keterpurukan para operator angkutan umum, khususnya para operator angkudes.(lihat box 1). Dan jawaban dari PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Tengah sangat normative, dan tidak sesuai harapan para operator angkutan umum. (lihat box 2). Kemudia pada tanggal 3 Nopember 2007 dalam rapat koordinasi DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu di Kantor DPC Organda Kabupaten Magelang, menghasilkan Nota Kesepahaman Nomor : 001/ORG/XI/07 dan ditujukan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan tembusan dikirim kepada Instasi terkait (lihat box 3). Butir 7 dari nota kesepahaman kembali menegaskan permohonan untuk pembebasan Premi Jasa Raharja bagi Angkudes. Nota kesepahan tersebut menjadi keputusan Rapat Koordinasi DPD Organda Jawa Tengah pada tanggal 11 Desember 2007 di Hotel Pattimura Semarang, dan sebelumnya juga sudah menjadi keputusan bersama antara DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu, DPC Organda Kabupaten Banyumas, dan DPC Organda Kendal melalui rapat koordinasi di kantor DPC Organda Kabupaten Kebumen tanggal 9 Desember 2007. Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada satupun ketentuan yang ada dalam UU Nomor 33 Tahun 1964 tersebut yang mengakibatkan perbedaan pembayaran Premi Jasa Raharja khususnya antara Angkot dengan Angkudes, yang seharusnya keduanya dibebaskan dari membayar Premi, dengan memperhatikan pasal-pasal dari UU tersebut berikut ini : Pasal 3.(1) a. Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. b. Penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dibebaskan dari pembayaran iuran wajib. Pasal 3 (1) b, digunakan sebagai dasar untuk membebaskan kewajiban terhadap angkutan perkotaan. Kata 'kota' dalam kalimat Penumpang kendaraan bermotor umum 'di dalam kota', tidak menyebut di Kotamadya ataupun di DKI, dan juga tidak ada penjelasan dalam UU terbebut apa yang dimaksud dengan istilah 'kota'. Sehingga sudah sepantasnya semua yang mempunyai sebutan 'kota', seperti Kota Kebumen, Kota Gombong, Kota Temanggung, Kota Purworejo, dan kota-kota lainya diseluruh Indonesia yang pada saat termasuk dalam obyek dari klausul tersebut. Dan UU tersebut dibuat tahun 1964 keadaanya tentu tidak seperti sekarang, sebagai contoh di Jogjakarta baru angkutan perkotaan baru ada tahun 1970 an, dan itupun diawali dengan menggunakan 'colt' yang dikenal dengan colt kampus, sedangkan untuk bis kota baru ada pada akhir tahun 1970-an, dan juga kota-kota lainnya kondisinya tidak jauh berbeda. Lebih lanjut kita lihat pada penjelasan pasal 3 dari UU Nomor 33 berikut ini : Berhubung kereta api merupakan alat pengangkutan yang murah bagi rakyat banyak, terutama untuk jarak-jarak dekat dimana rakyat kecillah yang mempergunakan kesempatan itu, maka sudah sewajarnya bahwa para penumpang kereta api untuk jarak kurang dari 50 km dibebaskan dari pembayaran iuran wajib tersebut meskipun terhadap mereka tetap diberikan jaminan pembayaran ganti-kerugian bila mereka mengalami kecelakaan dalam perjalanan.
Pun bagi penumpang kereta api kota (ringbaan dan trem listrik) berlaku ketentuan-ketentuan yang sama seperti tersebut di atas. Sedangkan bagi para penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota yang dibebaskan dari pembayaran iuran wajib, diberikan juga jaminan pembayaran ganti kerugian yang dimaksud.

Penumpang Angkutan Pedesaan tidak berbeda dengan penumpang kereta api dengan jarak kurang dari 50 km, yaitu angkutan kelas ekonomi yang dimanfaatkan oleh rakyat kecil dan para operatornya kebanyakan pengusaha kelas menengah bawah, bahkan banyak juga pemilik angkudes yang merangkap sebagai pengemudi.

Dan masih menurut Undang-Undang yang sama kewajiban melakukan perlindungan terhadap penumpang yang sebenarnya berada dipundak Pemerintah dan iuran wajib hanya dibebankan untuk golongan berada atau mampu saja, sebagaimana terdapat dalam penjelasan pasal berikut ini : UMUM. 1. Setaraf dengan kemajuan teknik modern dalam penghidupan manusia bermasyarakat, terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya.Pada dasarnya, setiap warganegara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena resiko-resiko demikian.Ini merupakan suatu pemikiran sosial.

Oleh karena keadaan ekonomi dan keuangan dewasa ini belum mengizinkan, bahwa segala akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditampung oleh Pemerintah, maka perlu usaha ini dilakukan secara gotong-royong. Manifestasi dari kegotong-royongan ini adalah dengan pembentukan dana-dana yang cara pemupukannya dilakukan dengan mengadakan iuran-iuran wajib, dimana akan dianut principe bahwa yang dikenakan iuran wajib tersebut adalah hanya golongan atau mereka yang berada atau mampu saja, sedang hasil pemupukannya akan dilimpahkan juga kepada perlindungan jaminan rakyat banyak.

Jadi permintaan pembebasan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang bagi angkutan pedesaan tidak bertentangan dengan UU Nomor 33 Tahun 1964, dan adalah hak operator Angkudes sehingga hukumnya wajib untuk dipenuhi, dan saya yakin akan didukung oleh seluruh DPC Organda Kabupaten di Indonesia. Diharapkan jiwa besar dari PT Jasa Raharja (Persero) untuk memenuhinya, demi keberlangsungan usaha angkutan pedesaan di Indonesia, jangan ada lagi diskrimanasi. Dan saya berharap semua pemangku kepentingan untuk berkenan mengambil kebijakkan yang memadahi dan melegakan. Sehingga tanpa harus menerbitkan Peraturan Pemerintah yang barupun, sesuai dengan UU di atas Pasal 3 ayat (2) :Dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan pengecualian dari pembayaran iuran wajib seperti termaksud pada ayat (1) sub a di atas, sesungguhnya sudah cukup.

Sambil menunggu hasilnya, mari tanyakan pada diri kita masing-masing, dan juga pada ahlinya dimanakah orang-orang miskin di Indonesia berada dan berapa banyak ? Di perkotaan ataukah di pedesaan ? Karena saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998, diskriminasi terhadap operator Angkudes juga terjadi, dimana bantuan kredit lunak via Organda hanya diperuntukkan bagi operator Angkutan Perkotaan, yang konon kabarnya banyak yang tidak kembali hingga saat ini, sementara operator Angkudes tidak mendapatkannya. Saatnya kini untuk menyamakan hak operator Angkudes dengan pembebasan kewajiban membayar Premi Jasa Raharja segera, sama seperti para operator Angkot. Kita tunggu perlakuan adil dan bijak dari pemangku kepentingan sehingga 'wong nDesa' bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan 'orang kota', kalau diperlukan terbitkan Peraturan Pemerintahnya, dan juga mungkin sudah saatnya UU No 33 Tahun 1964 untuk direvisi. Semoga segera terwujud, Amien.


Ir. H. Ngadino
Penulis adalah Pimpinan Redaksi ‘MODA’
Ketua DPC Organda Kab. Kebumen

Tidak ada komentar: