Jumat, 11 Januari 2008

Klaim Tidak Cucuk

Pada umumnya para operator angkutan penumpang umum , baik itu operator Angkudes, AKDP, maupun AKAP, senantiasa patuh dengan besaran ketetapan iuran wajib dana pertanggungan wajib Kecelakaan Penumpang dan ketepatan pembayaranya sesuai dengan SK Menkeu Nomor 415 Tahun 2001. Namun kadang masih dirasa ada hubungan yang tidak seimbang antara operator Angkutan Umum dengan PT Jasa Raharja (Persero), yang terkesan PT Jasa Raharja (Persero) mau enak sendiri, seperti beberapa tahun yang lalu dan sekarang masih terjadi dibeberapa tempat, STNK akan ditahan saat membayar Pajak Kendaraan hingga pembayaran Premi Jasa Raharjanya dilunasi. Seperti dinyatakan oleh salah satu pengurus paguyuban di Kabupaten Magelang saat rapat koordinasi DPC Organda se Eks Karesidenan Kedu tanggal 3 Nopember 2007. Dan bahkan ada yang meminta untuk dibayar satu tahun kedepan, bersamaan dengan saat pembayaran Pajak Kendaraan Bermotornya. Lain lagi yang dilakukan petugas Jasa Raharja di terminal Purwokerto, biasanya mereka melakukan 'operasi' pada akhir bulan, untuk pembayaran Premi Jasa Raharja bulan berikutnya, atau kadang di awal bulan untuk pembayaran Premi pada bulan yang sedang berjalan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan peraturan yang ada, karena kewenangan menahan STNK hanya boleh dilakukan oleh polisi, dengan alasan-alasan yang sesuai dengan Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 14 Tahun 1992. Dan juga memungut Premi Jasa Raharja untuk satu tahun ke depan juga tidak logis, kecuali karena kemauan operator sendiri, karena pada prinsipnya para operator mengumpulkan dahulu iuran jasa raharja dari para penumpang, untuk kemudian dibayarkan ke PT Jasa Raharja (Persero), hal ini bisa dilihat dari UU Nomor 33 Tahun 1964 Pasal 5 : Paling lambat pada tanggal 27 dari setiap bulan, pengusaha dan perusahaan-perusahaan kendaraan tersebut pada pasal 3 ayat (1) sub a sudah harus menyetorkan hasil penerimaan uang iuran wajib dari para penumpang kepada dana pertanggungan melalui bank atau badan asuransi yang ditunjuk oleh Menteri.

Walaupun diakui juga mulai ada perubahan sikap dari sebagian petugas Jasa Raharja di lapangan dalam memungut Premi Jasa Raharja, namun perubahan ini diharapkan dapat menyeluruh terhadap semua petugas Jasa Raharja di semua tingkatan. Dan diperlukan terobosan kebijakkan agar tidak memberatkan para operator angkutan umum, seperti misalnya kadang berhari-hari bahkan berbulan-bulan kendaraan tidak beroperasi, baik karena diperbaiki, maupun karena susahnya memcari crew yang mampu bekerja dalam situasi sulit seperti saat ini. Kebijakkan yang selama ini ada ialah menitipkan surat-surat kendaraan yang tidak beroperasi agar bisa tidak membayar Premi Jasa Raharjanya, hal ini menjadi masalah baru bagi operator yang tempatnya jauh, misal 30 km dari kantor Dinas Perhubungan setempat, terkait dengan biaya transportasi dan waktu untuk menitipkan dan mengambil kembali saat kendaraan akan beroperasi kembali. Kalau dilihat nilai uangnya mungkin sepertinya kecil, misalnya Rp 23.000 sebulan, atau sehari kurang dari Rp 1,000 jika dalam satu bulan kendaraan beroperasi selama 25 hari. Namun dalam situasi angkutan seperti saat ini, hal itu ternyata sangat memberatkan. (lihat box : satu hari hanya untuk beli bohlam ). Dan masalah juga timbul saat terjadi kecelakaan penumpang, disamping beban pikiran yang tertekan akibat terkena musibah, terbayang di depan mata rangkain urusan yang melelahkan, sebelum mengurus klaim asuransi. Mengurus klaim dari sisi aturan, memang relative mudah, asal persyaratannya lengkap, yaitu : - Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat, - Mengisi formulir pendaftaran dengan melampirkan : a. Keterangan kecelakaan Lalu Lintas dari Kepolisian dan atau instansi berwenang lainnya. b. Keterangan kesehatan dari dokter/RS yang merawat. c. KTP/Identitas korban/ahli waris korban. Tetapi harus pontang-panting mengurus persyaratan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bahkan menurut H Sutanto, ketua DPC Organda Kabupaten Banyumas, untuk klaim Jasa Raharja dengan nilai dibawah Rp 1,000,000 dianggap tidak cucuk, artinya besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus klaim mendekati angka klaim yang dimintakan. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Wartono dan diamini oleh pengurus paguyuban lainnya dari Paguyuban Awak Manunggal Kebumen Purworejo, yang biasa membantu menangani urusan kecelakaan lalu lintas yang menimpa anggotanya, saat saya tanya tentang 'klaim yang tidak cucuk'. Belum lagi kesan selama ini pada masyarakat, bahwa pengemudi dan atau pengusaha harus bertanggung jawab sepenuhnya atas biaya perawatan korban, dan penggantian dari Jasa Raharja merupakan bagian yang berdiri sendiri. Atau permintaan dari pihak korban untuk biaya berobat jalan, setelah keluar dari perawatan di rumah sakit. Padahal sesuai aturan yang ada, sampai dengan satu tahun dari saat kecelakaan penumpang, semua biaya perawatan masih menjadi tanggung jawab PT Jasa Raharja (Persero), sepanjang klaim biaya perwatannya masih belum mencapai batas maksimal klaim yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 pasal 10 : (1)Kecuali dalam hal-hal tersebut dalani pasal 13 di bawah, tiap penumpang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, termasuk mereka yang dikecualikan dari iuran wajib menurut/berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, diberi jaminan pertanggungan kecelakaan diri selama penumpang itu berada di dalam alat angkutan yang disediakan oleh pengangkutan untuk jangka waktu antara saat-saat sebagai berikut: a.dalam hal kendaraan bermotor umum: antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat turunnya dari kendaraan tersebut di tempat tujuan b. … dan seterusnya...(2)Jaminan yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, berupa pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal-hal sebagai berikut: a … dan seterusnya … c.dalam hal ada biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari. Biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter tersebut meliputi semua biaya-biaya: pertolongan pertama pada kecelakaan, honorarium dokter, ala-alat pembalut dan obat-obat atas resep dokter, perawatan dalam rumah sakit, photo rontgen, pembedahan dan lain-lain yang diperlukan menurut pendapat dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumlah pembayaran untuk membeli anggota-anggota badan buatan, seperti kaki/tangan buatan, gigi/mata palsu, dan lain sebagainya.Dan masih menurut Wartono, kadang juga harus membahas obat-obatan yang bisa diklaimkan atau tidak, seperti misalnya pembelian pen untuk patah tulang. Sekali lagi diharapkan ada terobosan aturan yang memudahkan permintaan klaim bagi korban kecelakaan penumpang, yang sederhana dan berbiaya murah, atau bahkan semua urusan klaim beserta kelengkapan persyaratannya diurus oleh pihak PT Jasa Raharja (Persero), operator cukup melaporkan bahwa telah terjadi kecelakaan penumpang ke kantor Jasa Raharja terdekat. Sebagai pembanding, saya mengasuransikan kendaraan pribadi ke salah satu perusahaan asuransi, dan saat kendaraan mengalami kerusakan karena meneyerempet jembatan, kita cukup menelepon ke mereka, dan kendaraan bisa dibawa kapan saja kita ada waktu untuk dibawa ke bengkel, mereka cukup memotret dan saya mengisi formulair klaim, urusan selanjutanya sudah antara bengkel dengan pihak asuransi, kita sudah selesai. Kita nantikan aksi nyata dari PT Jasa Raharja (Persero) agar hak 'partner' dijunjung tinggi dan tidak pernah ada lagi 'klaim yang tidak cucuk'.

Tidak ada komentar: