Jumat, 11 Januari 2008

Menggagas Angkutan Umum KEDUNGSAPUR

Oleh : Rahmad Da'wah

TIDAK dapat dipungkiri, angkutan umum di daerah Kendal kini berada pada kondisi hidup segan mati tak mau. Itu terjadi sejak kenaikan harga BBM yang baru lalu.Sebabnya tak lain karena ada penurunan minat pengguna jasa angkutan.
Penumpang yang sebelumnya menggunakan jasa angkutan umum banyak yang beralih ke sepeda motor. Sebagaimana bisa dilihat di jalan-jalan, kendaraan roda dua memang kini menjamur.
Data yang diperoleh penulis menunjukkan, di daerah ini tak kurang 600 unit motor terjual setiap bulan.Hal itu berakibat pada kemerosotan income para penjual jasa (baca: operator/pengusaha, dan awak) angkutan umum. Perolehan pendapatan mereka tak sebanding dengan biaya operasional. sehingga akhirnya banyak alat angkutan umum terpaksa diistirahatkan.
Di sisi lain, euforia otonomi daerah kini menyebar bak virus. Pada tataran implementasi, tiap kabupaten/kota lebih mengedepankan ego kewenangannya masing-masing, tanpa peduli pada kondisi objektif di lapangan.Pembangunan terminal Mangkang oleh Pemkot Semarang adalah salah satu contoh aktual. Jika regulasi Pemkot Semarang nantinya menetapkan terminal tersebut sebagai titik akhir bus antarkota dalam provinsi (AKDP) trayek Sukorejo (kendal)-Terboyo dan Limpung (Batang)-Terboyo, bisa dibayangkan armada (142 unit bus) tersebut akan mengalami degradasi.Sebab selama ini yang cukup menolong perolehan pendapatan armada tersebut justru di ruas antara Terboyo-Jrakah, dengan banyaknya penumpang ke arah Kaliwungu, Kendal, Weleri, Sukorejo, dan Limpung. Jadi bisa dibayangkan akibatnya jika bus-bus AKDP tersebut tak boleh masuk kota dan berhenti di terminal Mangkang. Mereka harus bersaing dengan ratusan unit angkutan pedesaan yang selama ini sudah melayani trayek Mangkang-Kendal-Weleri.Persaingan yang tak sehat antarpengusaha atau operator angkutan umum juga bisa menjadi contoh lainnya. Demo Paguyuban Setia Kawan di Dinas Perhubungan Kendal beberapa waktu lalu, yang menolak masuknya R-6 (salah satu trayek angkot Semarang) ke wilayah Kendal, adalah bukti betapa persaingan antarmereka sudah sangat memprihatinkan dan mengarah ke sentimen kedaerahan.Rusaknya infrastruktur jalan di daerah ini makin memperburuk keadaan.
Meski Pemkab Kendal tiap tahun menganggarkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk perbaikan jalan-jalan, namun realitanya banyak jalan masih dalam kondisi jauh dari harapan para pengguna.Adanya berbagai dugaan punguan liar (pungli) yang masih merebak di mana-mana, juga cukup mengganggu. Baik yang dilakukan oleh aparat maupun preman di jalan-jalan, maupun oleh pegawai instansi pelayanan di kantor-kantor. Jika saja, misalnya, setiap unit angkutan harus mengeluarkan pungli Rp 1.000 saja, maka dari jumlah 1.184 armada angkutan umum berbagai jenis setiap hari akan terkumpul Rp 1.184.000. Berapa jumlahnya jika dikalikan satu bulan, satu tahun, lima tahun ?


Antisipatif

Keberlangsungan usaha angkutan umum sangat tergantung pada tiga pilar utama, yaitu pemerintah sebagai regulator, pengusaha sebagai operator, dan masyarakat sebagai user. Ketiga pilar tersebut harus punya komitmen kuat untuk merancang-bangun keberhasilan sistem angkutan umum.Bagi pemerintah, komitmen tersebut dapat diimplementasikan melalui kebijakan yang antisipatif terhadap keberadaan terminal Mangkang. Jika "stop di Mangkang" menjadi kemungkinan terburuk bagi bus-bus AKDP asal Kendal, maka harus ada kebijakan yang bisa "menembus" itu.Misalnya, dengan menghidupkan trayek Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, dan Purwodadi), dengan mengalihkan trayek Sukorejo-Terboyo menjadi Sukorejo-Demak, Sukorejo-Purwodadi, Sukorejo-Ungaran, dan Sukorejo-Salatiga.

Tentu saja harus ada pembicaraan dan kesepakatan terlebih dulu antara Dinas Perhubungan dan Organda di berbagai daerah tersebut, untuk secara bersama-sama meneruskan hasilnya ke tingkat yang lebih atas (provinsi) sebagai pemilik kewenangan trayek AKDP.Dengan trayek Kedungsapur, otomatis bus-bus AKDP asal Kendal bisa "menembuis" masuk Kota Semarang untuk menuju Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga. Demikian sebaliknya bus-bus AKDP asal Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga bisa masuk Semarang untuk menuju Kendal.
Memang hal itu berisiko pada makin banyaknya "pemain" di lapangan, dan tentu persaingan pun menjadi tak ringan. Namun toh lapangan permainan telah diperlebar menjadi wilayah kedungsapur. Dan itu lebih baik daripada harus mati pelan-pelan karena ketiadaan penumpang.Angkutan Kedungsapur mungkin bisa menjadi solusi yang pas, untuk menghadapi kondisi objektif di lapangan. Tentu saja jika ego kewenangan dan sentimen kedaerahan bisa ditanggalkan.
Bagamanapun penumpang dari Kendal, Demak, Purwodadi, Ungaran, dan Salatiga tetap membutuhkan moda angkutan yang bisa mengantar mereka dari dan ke Semarang dengan mudah dan murah tanpa harus berganti-ganti alat angkutan.*

Drs H Rahmad Da'wah,
Penulis adalah Sekretaris Organda Kendal,
anggota Dewan Pendidikan Kendal.

Tidak ada komentar: